Malioboro dalam Sehari

/ Jumat, 13 Agustus 2010 /
Saya cinta ketenangan Malioboro di waktu pagi. Masih mengingat bagaimana dulu saya kerap berjalan kaki menyusuri Malioboro sewaktu para pedagan kaki lima masih sibuk menata barang dagangan mereka. Dan saya selalu mengingat suasananya. Bau debu dari kibasan batik-batik yang dijejerkan sekenanya di atas gerobak-gerobak hijau muda. Atau bau bakso yang menguar harum dari gerobak yang berjejer di depan wc umum kotor yang becek. Saya waktu kecil, selalu mengabaikannya. Selalu menutup hidung rapat-rapat tiap kali melihat pedagang mengibaskan baju-baju terusan batik dagangannya sambil menawarkan pada orang-orang yg berlalu lalang.

Lalu saya mulai tumbuh besar.
Mulai bisa berpikir secara lebih rasional dan setingkat lebih kompleks daripada sebelumnya. Tanpa saya sadari, ketika saya sudah mulai berhenti menemani Ibu saya menyusuri Malioboro hingga Pasar Beringharjo, saya rindu. Akan suasana damai sekaligus ramai di antara para pedagang yang berjejer dengan tidak teratur. Akan tatapan curiga saya pada tiap orang yang berlalu lalang dengan gerik yang mencurigakan. Saya rindu.

Kemudian pada siang hari.
Saat matahari bersinar dengan teriknya. Saat orang-orang berdesakan rapat di emperan toko-toko ber-AC yang terlihat kontras dengan gerobak-gerobak sederhana di depannya. Dengan kekisruhan karena teriakan-teriakan lantang kuli-kuli yang berlalu lalang. Dengan dengungan para pedagang yang saling menceritakan kisah mereka pada pedagang yang lain dalam Bahasa Jawa yang sepintas terdengar sekenanya.

Makanan-makanan tradisional, gelang-gelang dari manik kayu kecoklatan, baju-baju batik terusan, tampak menumpuk-numpuk di atas gerobak menunggu seseorang datang dan tertarik membawanya pulang. Kekisruhan itu, terlihat kontras dengan toko-toko sepi di sampingnya. Dengan penerangan yang hingar bingar, angin AC yang kadang menerobos keluar melalui pintu-pintu kaca, dan juga lantunan musik keras semakin mewarnai siang di Malioboro.

Dan saat sore mulai datang.
Saat para pedagang makanan mulai berbondong-bondong menyerbu mulut Pasar Beringharjo. Sambil mengibas-ngibaskan tangannya cepat-cepat diatas 'rantang' penuh sayur-sayur yang terlihat sudah dingin dan sudah lama dimasak. Atau melihat para pembeli menunggu dengan sabar saat pedagang dengan cekatan membungkus pesanan mereka dengan daun pisang. Lalu orang-orang yang berjongkok di pinggiran pintu pasar, mengipas-kipaskan kipas dari anyaman bambu diatas sate yang berjejer di atas arang. Mengingat dengan jelas bagaimana dulu Ibu saya selalu membeli bakmi goreng yang bertumpuk-tumpuk di atas 'rantang' besar menunggu dibeli. Lalu kami bersama-sama menyantapnya dengan nikmat setelah sampai di rumah. Saya rindu.

Dan malam hari adalah waktu Malioboro untuk berbenah menjadi sebuah pusat seni yang mengagumkan. Pertunjukan-pertunjukan jalanan--seperti jathilan--, perkumpulan-perkumpulan motor vespa tua dan juga 'sepedha dhuwur'. Atau kadang jika saya beruntung, bisa menemukan panggung-panggung kecil yang berdiri kokoh di depan patung Serangan 11 Maret. Dibawah pohon beringin besar, kegiatan seni yang sederhana itu berlangsung. Menjadi penutup sunyi kehidupan Malioboro di hari itu. Hingga kemudian ia terlelap dalam diam menyambut besok yang akan kembali melelahkan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 Jump and fly., All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger